VALENTINE
PERTAMA
By : Anhar
Aku
bingung sekali. Hidup di kota besar ternyata sangat memusingkan, terlalu banyak
aturan tidak tertulis yang harus kutaati. Ketika aturan itu tidak dikerjakan,
orang lain pun akan mengecap yang aneh-aneh. Padahal, kota ini sama saja dengan
kota yang lain. Mungkin karena menjadi ibukota negara sehingga memiliki
perbedaan dengan yang lain. Apalagi, walikotaku sempat memimpin kota ini sebelum
akhirnya menjadi presiden republik ini. Ah,
betapa lebih tenang hidup di kampungku pinggiran Solo, menikmati udara segar,
mendengar kicauan burung, merasakan semilir angin, dan tanpa keributan. Kota
ini sudah terkenal dengan segala hingar-bingarnya, kemacetan, udara yang kotor,
banjir setiap tahun, ditambah lagi perkelahian antar kampung, antar siswa,
bahkan antar ibu-ibu karena masalah yang sepele. Aku rindu suasana kampungku.
Namun, apa dayaku? Aku dapat kuliah di kota ini bermodalkan beasiswa yang untuk
kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup. Akibatnya, aku pun bekerja macam-macam
yang dapat dilakukan seoranga mahasiswa hanya untuk dapat bertahan hidup.
Kebutuhan hidupku pun mulai berubah
selama 6 bulan terakhir, sejak aku berpacaran dengan Nova. Entah apa yang
terjadi, pertahananku untuk tidak berpacaran akhirnya luruh ketika Nova “menembakku”.
Nova seorang gadis cantik, kaya, pintar, primadona kelas bahkan kampus, dan
incaran banyak mahasiswa justru menyatakan cintanya kepada seorang mahasiswa kere dengan wajah pas-pasan, berasal
dari kampung, tetapi untung saja memiliki otak cemerlang. Seisi kampus pun
heboh mendengar berita jadian kami. Aku
bingung dengan perasaanku, apakah benar-benar mencintai Nova? Atau hanya
sekedar mencari pelarian dari kejenuhan hidup. Yang pasti secara otomatis aku
menyediakan budget khusus untuk ngapel di malam Minggu, nonton di
bioskop, atau sekedar makan di sebuah restoran fastfood. Tidak mungkin mengajak Nova makan di warteg pinggir
jalan, walaupun dia tidak akan menolak. Tetapi, tetap saja aku tidak tega. Nanti
kulitnya akan kotor atau tergores sesuatu, akhirnya aku harus memberikan paket
perawatan untuknya yang tidak mungkin murah. Berpacaran saja sudah membuatku
kerja pontang-panting banting tulang untuk menambah biaya hidup, apalagi harus
membayar perawatan kulit Nova.
Sebenarnya Nova gadis yang baik, dia
tidak pernah malu berpacaran denganku yang miskin. Bahkan, aku sering dijemput
di kos untuk berangkat bareng ke kampus. Masalahku pun sebenarnya bertambah
lagi saat ini karena Nova meminta hadiah yang istimewa untuk perayaan valentine yang hanya beberapa hari lagi.
Padahal, aku tidak pernah merayakan valentine
seumur hidup, apalagi masyarakat di kampungku pun tidak merayakannya.
Menurutku merayakan valentine hanya
membuang-buang uang saja selain tidak dibenarkan agamaku. Apalagi ketika
melihat dan membaca perayaannya di kota-kota besar ternyata malah menjadi ajang
maksiat. Tetapi, sekali lagi entah mengapa aku tidak bisa menolak permintaan
Nova, sama halnya dengan permintaannya untuk menjadikanku pacar. Sepertinya
otakku sudah tidak dapat berpikir jernih ketika sampai di kota ini, sehingga ego
dan nafsuku pun mengambil alih atas segala keputusan yang kubuat. Aku sendiri
terkadang bingung dengan pacaran ini, komitmen yang kubuat benar-benar hancur
dalam sekejap.
Lamunanku pun buyar ketika secarik
kertas mengenai kepala belakangku. Kutengokkan kepala ke belakang dan kulihat
Mardi bertanya kepadaku dengan suara lirih.
“Nova
nggak masuk Dan?”
“Aku
nggak tahu Mar, hari ini belum sempat sms
dia.” Aku pun membalas dengan suara lirih pula.
“Tanyain
dong, gue mau minjem catatan lo yang di dia. Lo mah bukannya temen sekosan dulu
yang dipinjemin, mentang-mentang dia pacar lo.”
“Iya,
gampang itu. Nanti aku sms habis
kuliah ya.”
“Ehmmm…”
Terdengar dehaman keras dari depan kelas.
“Kalau
mau mengobrol, silakan keluar saja sekarang!” Pak Bonar agak mengingatkan
dengan suara agak keras. Aku langsung terdiam dan membalikkan kepala ke depan
seakan-akan sedang memperhatikan kuliah. Pak Bonar terkenal dosen yang super killer, aku tidak mau berurusan
dengan beliau, bisa-bisa beasiswaku akan terancam. Sayangnya, otakku sudah
tidak bisa diajak berkonsentrasi memahami rumus-rumus di depan kelas. Aku hanya
mencatat tanpa mendengar penjelasan Pak Bonar, nanti saja aku coba pahami
sendiri atau bertanya ke kakak tingkat yang lebih paham. Aku segera
mengeluarkan handphone untuk
mengetahui kabar Nova. Satu sms pun
terkirim dengan cepat.
“Hai
Sayang, kok nggak kuliah hari ini?”
“Aku
lagi bedrest nih di rumah Yang,
kecapean habis kejuaraan basket kemarin.” Sms
balasan pun segera sampai, Nova pasti sedang menggunakan smartphonenya yang canggih itu untuk
menghilangkan bosan di rumah. Sedangkan punyaku masih model jadul yang ketinggalan zaman, whatsapp saja tidak ada. Kami memang
berbeda jauh.
“Cepat
sembuh ya Yang, aku lagi kuliah Pak Bonar sekarang.”
“Kamu
ke rumah dong nanti sore, masa nggak mau jengukin?”
“Oke
deh, nanti sekalian jalan ke rumah les privatku.” Tak ada sms balasan lagi, aku pun langsung berpikir untuk membawa apa nanti
sore.
“Kalau
bawa buah, pasti udah banyak di rumah Nova. Bapaknya juga punya kebun
berhektar-hektar. Kalau bawa bunga, nggak
mungkin banget. Nanti aku disangka orang gila.” Waktu-waktu akhir kelas Pak
Bonar aku habiskan untuk berpikir.
Kelas
terakhir kuliahku baru saja berakhir, aku segera berlari menuju kos. Tiba-tiba
saja Mardi menarik pundakku dari belakang, secara refleks aku langsung berhenti
agar kausku tidak robek.
“Kenapa
Mar? Aku buru-buru nih, mau ngajar privat.”
“Santai
aja lah Dan, bareng lah kita ke kosan. Lo sama temen sekosan sombong amat sih,
emang mau ke mana buru-buru Bro?”
Mardi berusaha menyejajarkan diri denganku.
“Aku
ada les privat jam 5 nanti Mar, tempatnya agak jauh, makanya harus
cepat-cepat.” Aku memberi alasan.
“Masih
2 jam lagi Dan, temenin gue makan dulu lah. Gue traktir nih.” Mardi mencoba
membujuk.
“Nanti
lah kapan-kapan Mar.” Aku menjawab sambil tersenyum melihat tubuhnya yang sudah
semakin menggembung, pantas saja karena hobinya makan.
“Ayolah
Dan, lo masih bisa nemenin gue kok. Nggak akan telat juga nanti sampai rumah
murid lo, atau lo mau mampir dulu nih ke rumah Nova? bener nggak?” Mardi masih
mencoba tanpa kenal lelah.
“Iya
Mar, aku mau nengokin Nova dulu sebelum ngajar. Kalau nemenin kamu dulu bisa
telat nanti ngajarnya.” Aku pun akhirnya bicara jujur ke Mardi.
“Kamu
kok sering bohong sekarang Dan ke gue? Abis jadian sama Nova kayaknya lo agak
berubah deh. Jarang ngumpul sama anak kosan, jarang ngobrol, kalau pulang ke
kosan langsung tidur deh. Kenapa Dan? Udah nggak asyik lo sekarang.”
“Iya
Mar, maafin aku ya. Kamu maklum lah, sekarang biaya hidupku meningkat sejak
pacaran sama Nova. Makanya aku harus kerja keras banting tulang Mar, apalagi
adekku juga mau masuk SMA tahun ini. Tambah juga beban keuanganku lah.” Aku
berusaha menghindari pertanyaan lanjutan dari Mardi.
“Ah,
alesan aja lo Dan. Ya udah lah, pergi aja lo sono ke Nova.” Mardi terlihat
kesal sekali.
“Maafin
ya Mar, aku benar-benar nggak enak sama kamu, teman-teman kosan juga. Tapi, ini
semua penting buat aku.” Aku merasa kehilangan Mardi teman karibku sejak
menginjakkan kaki di kota ini, aku segera berlalu agar perasaan ini tidak
bertambah sakit.
Aku
segera mandi dan salat sesampainya di kos, terlihat rumah ini agak sepi.
Sepertinya para penghuni masih menyibukkan diri di kampus. Selepas salat aku
mengganti baju, napasku tertahan melihat tumpukan baju kotor yang belum sempat
kucuci beberapa hari ini. Aku langsung berlari ke ujung gang untuk
memberhentikan angkot ke rumah Nova. Aku sampai di depan pintu perumahan Nova
sekitar 30 menit kemudian, sore memang waktunya macet di kota ini. Aku mampir
sebentar ke sebuah minimarket untuk membeli sebatang cokelat, inilah hasil
pikiranku selama kuliah tadi. Aku naik ojek
untuk ke rumah Nova karena agak jauh dari depan walaupun harus membayar
mahal, daripada aku terlambat untuk mengajar nanti.
Aku
membunyikan bel setelah turun dari ojek,
kemudian seorang satpam menghampiri.
“Mau
ketemu siapa Mas?” Satpam itu bertanya kepadaku. Kebetulan ini adalah pertama
kalinya aku ke rumah Nova karena aku tidak pernah mau ketika diajak olehnya dengan
berbagai alasan. Tetapi, kali ini alasan apapun sepertinya tidak akan mempan
karena dia sedang sakit.
“Maaf
Pak, ini benar rumah Nova ya?”
“Mas
ini siapanya Mbak Nova?” Satpam itu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan
juga. Aku melirik jam di tangannya untuk melihat waktu, khawatir jadwal
mengajarku sudah hampir tiba.
“Saya
teman kuliahnya Nova Pak, bilang aja Zaidan.”
“Sebentar
saya hubungi Mbak Nova dulu ya lewat intercom.”
Satpam itu kemudian menuju pos kecil yang tidak terletak jauh dari pagar.
Terdengar suara satpam itu berbicara kemudian segera berjalan kembali ke
arahku.
“Oke
Mas, silakan masuk. Langsung ke kamar Mbak Nova aja, kebetulan lagi nggak ada
orang di dalam” Satpam itu langsung membukakan pintu.
“Maaf,
kamarnya Nova di mana Pak?” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Ah
iya saya lupa, Mas ini baru sekali ke sini kan ya. Dari pintu depan Mas
langsung aja naik tangga yang ke atas, terus nanti belok kiri. Nah, kamar
pertama yang Mas lihat itu kamarnya Mbak Nova.” Satpam itu memberikan arahan
dengan cepat dan lugas.
“Baik
Pak, makasih ya.” Aku segera berjalan masuk.
Kuperhatikan
rumah Nova sangat besar, mereka sekeluarga hanya 4 orang. Nova, kedua orang
tuanya, dan adiknya lelaki yang agak nakal menurutnya. Aku segera membuka pintu
besar yang terbuat dari kayu jati itu perlahan, agar tidak menimbulkan suara
yang berisik. Ketika aku melihat isi rumah itu, kekagumanku semakin bertambah.
Perabotan di dalamnya bermerek dan berkualitas semua. Sisi lain hatiku merasa
minder melihat ini semua. Sebelum aku sesak napas, segera kulangkahkan kaki
menuju tangga dengan waspada. Jika ada barang yang tersenggol dan jatuh, maka
aku harus puasa lebih dari sebulan sepertinya hanya untuk mengganti. Aku segera
berbelok ke kiri ketika sudah sampai di ujung tangga dan melihat kamar yang
kutuju. Pintu kamar kuketuk pelan untuk mengetahui keberadaan Nova di dalamnya.
Tidak ada jawaban dari dalam, kemudian kuketuk kembali dengan agak keras.
Terdengar langkah kaki yang bergerak menuju pintu, lalu pintu tersebut terbuka
lebar. Nova tersenyum masih menggunakan piyama tipis yang sudah berantakan,
sepertinya tidak diganti dari semalam dia tidur. Namun, kecantikan Nova tetap
tidak dapat disembunyikan walaupun mukanya agak pucat. Dalam sepersekian detik
darahku terasa agak panas melihatnya hanya sendiri di kamar ini dan rumah ini
pun juga kosong sepertinya. Aku berusaha menahan nafsuku yang tiba-tiba ini.
“Masuk
dong Yang, ngapain bengong aja di pintu?” Nova memegang tanganku.
“Oh
iya.” Aku segera tersadar. “Gimana kabarmu? Masih sakit?” Pertanyaanku seperti
hanya basa-basi saja untuk memulai percakapan.
“Udah
agak baikan Yang, cuma tinggal pusingnya aja nih sedikit. Semalam aku demam
tinggi, kamu kok nggak telepon aku?”
“Semalam
aku kecapean Yang, maklum kejar setoran nih.” Aku tersenyum kecil.
“Gimana
kado valentine aku? Kamu udah nyiapin
belum? Tinggal dua hari lagi lho.” Nova langsung mengganti topik pembicaraan yang
membuatku agak kaget, tetapi langsung kuhilangkan rasa kaget di wajah dengan
tersenyum.
“Tenang
aja Yang, aku udah nyiapin hadiah paling istimewa deh. Kamu nggak akan kecewa
pokoknya.” Aku menjawab dengan yakin agar Nova tidak curiga. Obrolan kami pun
berlanjut mengenai berbagai macam hal, dari mulai kuliah, kegiatanku, keluarga,
rencana valentine lusa, dan
lain-lain. Aku pun sempat menyuapi Nova makan sore. Kami tertawa bareng, serasa
beban hidupku hilang jika sedang bersamanya. Kemudian aku tersadar harus segera
pergi untuk mengajar.
“Yang,
aku baru inget nih harus ngajar. Aku pamit dulu ya, masih kekejar sekarang.”
Aku segera menyiapkan diri untuk pamit.
“Kamu
naik apa tadi ke sini?”
“Aku
naik angkot sama ojek Yang, nggak ada motor di kosan yang bisa dipinjem.”
“Kalau
gitu, aku suruh Pak Gino untuk manggil ojek dulu ya, kamu tunggu aja di depan
pintu.”
“Oke
deh.” Aku langsung mengiyakan karena waktu yang semakin sempit.
Aku
pun berjalan keluar kamar mengikuti Nova. Ketika sampai di pintu depan ternyata
sudah ada ojek yang menunggu.
“Aku
pergi ya Yang, kamu jangan lupa makan biar cepet sembuh.”
“Iya,
tenang aja Yang.” Nova memberikan kecupan di pipi kananku, aku agak salah
tingkah dan sesuatu berdesir di hati. Aku segera naik ke motor agar tidak ada
yang sadar dengan maluku, kukatakan tujuanku kepada tukang ojek. Walaupun sudah mengebut dan menyelip-nyelip di antara
kemacetan jalan, takdirku harus tetap telat ke rumah muridku. aku cepat-cepat
turun dari motor dan membayarnya tanpa tahu betapa mahalnya harga ojek ini.
“Assalaamu’alaikum…” Kuucapkan salam
dengan tergesa-gesa.
“Wa’alaikumussalaam… Loh Mas Zaidan kok
baru datang sekarang sih? Anak saya udah ngambek nggak mau les lagi sama Mas.
Katanya dia nggak ngerti apa yang Mas jelasin. Lagipula ini udah kelima kalinya
Mas telat datang.” Ibu muridku menyambut dengan muka yang tidak bersahabat.
“Mohon
maaf Bu, tadi saya ada keperluan mendadak yang penting sekali habis kuliah. Ada
teman…”
“Sudah,
nggak usah buat alasan lagi Mas.” Ibu itu langsung memotong ucapanku yang belum
selesai. “Mas nggak usah ngajar anak saya lagi, ini upah Mas bulan ini saya
bayar aja.”
“Terima
kasih Bu.” Aku tidak dapat mendebat Ibu itu lagi dan langsung menerima amplop
yang disodorkannya.
Hari
ini menjadi kesialan bagiku, satu murid les private
meminta untuk berhenti. Aku berjalan lesu menuju tempat angkot berhenti untuk
menunggu penumpang. Aku menutup mata selama angkot berjalan berusaha untuk
tidur. Tetapi, otak ini tidak mau istirahat karena berpikir hadiah apa untuk
Nova lusa nanti. Ketika angkot sampai di depan gang menuju kos, aku segera
turun dan berlari kecil. Aku sudah kalut dan letih, ingin segera merebahkan
badan di kasur.
Sesampainya
di kos, langit sudah mulai gelap. Aku segera mandi dan salat maghrib. Selesai salat, aku berjalan
menuju kamar Mardi. Kuketuk pintu kamarnya dengan pelan karena merasa tidak
enak dengan kejadian tadi sore.
“Mar,
kamu ada di dalam? Aku boleh masuk nggak?”
“Masuk
aja Dan, nggak dikunci.”
Aku
membuka pintu dan masuk, “Lagi ngapain Mar?” Aku membuka percakapan.
“Gue
baru aja selesai makan, lo udah makan?” Mardi tersenyum menawarkan.
“Aku
nggak laper Mar, hari ini udah bikin aku kenyang sama masalah.” Senyumku kecut
sekali ke Mardi.
“Udah
makan sana, nanti repot kalau lo sakit juga. Siapa yang ngurus? Pacar lo aja
udah sakit. Mumpung masih ada nasi sama lauknya tuh.” Mardi menunjuk ke lauk
yang tersisa.
“Aku
laper juga ngelihatnya Mar.” Aku tertawa kecil. “Aku mau curhat juga nih Mar. Kira-kira aku harus ngasih hadiah apa ya ke
Nova untuk valentine lusa nanti? Aku
pusing banget nih, ditambah murid privatku juga berenti satu orang.”
“Oh,
jadi ini yang bikin lo pusing Dan? Besok kita cabut kuliah aja yuk, gue bantuin
lo nyari hadiah. Tapi, gue juga bingung sih. Apaan yang si Nova nggak punya ya?
Secara dia orang tajir banget, kayaknya
punya semua deh. Lo ada budget berapa?”
“Aku
nggak nyiapin budget apa-apa Mar,
tapi yang aku pegang cuma satu juta aja nih dari fee ngajar yang udah berenti tadi.”
“Gimana
kalau lo bikin makan malam istimewa aja, kayaknya cukup deh uang segitu. Cari
yang sederhana aja, gue bantuin besok.” Mardi memberikan usul yang lumayan
bagus.
Aku
yang sudah tidak bisa berpikir langsung setuju, “Boleh lah Mar, aku udah pusing
banget mikirin hadiah itu.” Aku pun melanjutkan makan dan kami mengobrol sampai
tengah malam.
Keesokan
harinya, aku dan Mardi keliling kota ini mencari restoran yang dapat dipesan
untuk acara di rumah. Nova ingin merayakan valentine
di rumah saja, dia juga menyiapkan hadiah istimewa untukku. Kami
berkeliling sampai sore dan akhirnya menemukan restoran yang sesuai dengan budgetku. Kemudian aku membayar uang
panjar dan membuat jadwal buat besok malam. Kesepakatan segera tercapai, hatiku
pun agak sedikit gembira karena aku dapat memberikan hadiah buat Nova. Aku pun
langsung pulang dengan Mardi dan ingin segera beristirahat menyambut hari esok.
Esok
harinya, wajahku cerah dari pagi. Aku pun berangkat ke kampus pagi sekali
karena ada kuliah jam 7 pagi. Aku segera ke kamar Mardi untuk mengajaknya
berangkat bareng.
“Lo
seneng banget hari ini Dan? Udah nggak sabar ya buat nanti malam?” Mardi
tersenyum kecil.
“Ya
gitu lah Mar, maklum baru pertama kali.” Aku juga tersenyum dan bersiul. Kami
melangkah dengan ringan menuju kampus. Aku mengikuti kuliah dengan semangat dan
ternyata Nova belum masuk juga. Tidak lama kemudian hp-ku bergetar dan ada sms dari
Nova. Dia mengatakan bahwa hari ini bolos saja karena tidak ada orang juga di
rumahnya. Aku membalasnya dan mengatakan bahwa nanti sore akan datang
orang-orang yang akan menyiapkan hadiahku.
Kuliah
berlalu dengan cepat, aku sudah di kamar kos untuk menyiapkan diri. Tiba-tiba
Mardi masuk.
Aku
segera bertanya, “Gimana Mar? Udah keren belum?”
“Keren
abis Bro, tapi ada yang masih kurang
nih. Badan lo masih bau, nggak punya parfum ya?” Mardi senyum kecut ketika
membaui badanku.
“Udah
habis Mar, belum sempat beli.”
“Pake
puny ague aja, sebentar gue ambil di kamar ya.” Mardi kembali ke kamanya dan
mengambil parfum. Kemudian dia menyemprotkan parfum itu ke bajuku. Aku sekali
lagi melihat penampilanku di kaca dan merasa yakin tidak ada yang terlewat. Aku
tersenyum ke Mardi dan segera menuju pintu keluar kos.
“Sukses
ya Bro, cerita-cerita lah nanti.”
“Sip
Mar, nanti aku certain lah.” Aku segera menstarter motor yang kupinjam dari
teman di kos ini.
Aku
berjalan dengan pelan agar dandananku tidak menjadi berantakan. Kuberhenti
sebentar di took bunga untuk membeli mawar, ini sisa fee-ku yang terakhir. Habis sudah semuanya untuk hadiah valentine malam ini.
Tidak
berapa lama kemudian aku sampai di rumah Nova, satpam langsung membukakan
pagar. Aku pun langsung masuk menuju taman yang terletak di samping karena
orang dari restoran ada di sana. Aku membayar sisa biaya dan memberitahukan
kalau mereka dapat membereskannya sekitar jam 11. Aku duduk di kursi menunggu
Nova yang belum muncul. 5 menit menunggu, pintu rumah besar itu terbuka dan
tampak Nova keluar dengan menggunakan gaun merah yang tipis. Hasratku berdesir
melihatnya. Aku segera menyambutnya dan mempersilakan duduk.
“Kamu
cantik sekali Yang mala mini seperti mawar yang kubawa ini.” Aku memulai acara
malam itu dengan pujian.
“Terima
kasih ya, makan mala mini istimewa sekali. Ayo kita makan, hadiah untukmu ada
di kamar, nanti saja setelah makan.” Nova tersenyum manis.
“Baiklah.”
Nafsuku sedikit menggelora melihatnya.
Kami
pun makan malam sambil berbincang-bincang ringan. Ternyata orang tua Nova
sedang ke luar negeri untuk mengurus sebuah bisnis, sedangkan adiknya sedang ada
acara di rumah temannya. Kami cepat menyelesaikan makan malam itu karena Nova
ingin segera memberikan hadiah untukku. Setelah selesai, Nova mengajakku ke
kamarnya, aku ikut saja. Sesampainya di kamar, Nova bilang ingin buang air
kecil dahulu dan memintaku menunggu di ranjang saja. 10 menit berlalu dan Nova
keluar dari kamar mandinya. Ternyata dia berganti baju, sekarang memakai piyama
yang sangat tipis dan transparan. Nafsuku segera bergolak melihatnya.
“Ini
hadiahku untukmu Yang, kamu mau kan menikmati tubuhku malam ini.” Nova
mendekati pintu dan menguncinya. Aku masih terdiam melihat kemolekan tubuhnya.
“Kamu
serius Yang? Kalau nanti hamil gimana?” Aku menyimpan sedikit rasa takut.
“Udah
tenang aja Yang, itu nggak akan terjadi. Ayo dong buka bajumu.”
“Kamu
bener nggak akan hamil?” Aku masih belum yakin.
“Iyalah,
aku udah tau caranya biar nggak hamil.”
Dalam
hati aku berteriak girang, “Oke aku buka baju ya.”
“Cepat
dong Yang, udah nggak kuat nih.”
Aku
mempercepat membuka baju, tetapi kita baju itu sulit dibuka tiba-tiba lampu
mati, “Yang kamu di mana? Kok lampunya mati sih?” Aku agak kalut karena
khawatir dituduh ingin melakukan pemerkosaan, padahal ini atas dasar suka sama
suka. “Yang, kamu di mana?” Aku semakin takut karena tidak ada jawaban apa-apa.
Tiba-tiba
saja, byuurrrr… Seember air membasahi
bajuku. “Woy… Bangun Dan! Udah pagi nih!” Suara khas Mardi terdengar.
Aku
kaget dengan semburan air dan segera memicingkan mata. Ah, bagaimana aku bisa berada di kamarku? Bukannya aku sedang
berada di kamar Nova? “Aku di mana ini Mar?” Pertanyaan terlontar dari mulutku.
“Lo
ada di kosan Dan sekarang, ini kamar lo. Abis subuh tadi lo tidur lagi. Mimpi
apa sih lo? Kok gue kayak denger desahan terus lo manggil-manggil Nova gitu.
Pasti mimpi jorok lo ya?”
“Bukan
mimpi apa-apa kok Mar, kamu salah denger kayaknya. Aku mimpi biasa aja.” Aku
mengelak tuduhan Mardi dengan memasang wajah datar tanpa ekspresi. Dalam hati
aku bersyukur bahwa semua kejadian itu hanya mimpi. Setidaknya aku selamat dari
maksiat dan perayaan valentine yang
tidak ada di agamaku. Aku pun masih memegang prinsipku untuk tidak berpacaran.
Terima kasih Tuhan. Aku tersenyum lebar.
Komentar
Posting Komentar